Kamis, 19 April 2012

5. Hukum Perjanjian


5.1. Standar Kontrak
  Ø Pengertian Perjanjian
            Perjanjian suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu     saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang yang disebut PERIKATAN. menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. itu identik sama dengan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Jadi dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. perikatan oleh suatu perjanjian lebih banyak daripada perikatan yang dilahirkan oleh UU, karena : Perjanjian
       a.       Setiap saat dapat dilakukan oleh siapa saja.
        b.       kegiatan bisnis/kegiatan terus bergulir tanpa henti.
        c.      Tidak perlu pengesahan oleh Negara karena Perjanjian/PersetujuanPerikatan Lahir karena Undang-Undang
  Perikatan adalah suatu pengertian abstrak, Perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa.

5.2. Macam – Macam Perjanjian

  Ø Perjanjian Bersyarat
Suatu perjanjian adalah bersyarat, apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perjanjian hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perjanjian menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam Hukum Perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Contoh: Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  Ø Perjanjian Dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan.

  Ø Perjanjian Mana Suka (Alternatif)
Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya.

  Ø Perjanjian Tanggung-Menanggung
Dalam perikatan semacam ini, di salah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Oleh karena itu suatu perikatan tanggung-menanggung harus dengan tegas diperjanjikan atau ditetapkan dalam Undang-Undang. Contoh: Pasal 1749 Dan Pasal 1836 Kuhperdata.

  Ø Perjanjian Yang Dapat Dibagi Dan Yang Tak Dapat Dibagi
Suatu perikatan, dapat atau tak dapat dibagi, adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.

 5.3. Syarat Sahnya Perjanjian

    1.   Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

    2.  Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap                                             berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah   pengampunan.
    3.  Mengenai Suatu Hal Tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
    4.  Suatu Sebab Yang Halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
5.4. Saat Lahirnya Perjanjian

Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk   melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal1338 KUHPerdata, yaitu:
1.         perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya.
2.       perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan daripara pihak atau  karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
3.       Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.
Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian.
Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari   segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
5.5. Pembatalan Dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Ø Pembatalan
Batal dan Pembatalan suatu Perjanjian Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (bahasa Inggris: null and void)+ Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi (terdapat kekurangan), maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, akan tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak.u Yaitu : Pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri. Apabila ia sudah menjadi cakap, dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara bebas. Untuk meminta melakukan pembatalan perjanjian, diperlukan a.l. ;g. Kreditur dari salah satu pihakh. Perjanjian itu merugikan baginyai. Perbuatan atau perjanjian itu tidak diwajibkanj. Debitur dan pihak lawan kedua-duanya mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan kreditur.

Ø Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Pelaksanaan Suatu Perjanjian Menilik macamnya hak yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam 3 (tiga) macam (pasal 1234 KuhPer), yaitu:

Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu barang Misalnya: jual beli, tukar-menukar,  penghibahan/pmberian), sewa-menyewa, pinjam pakai.

Perjanjian untuk berbuat sesuatu Misalnya: perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat sebuah garansi dan lain sebagainya.

Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan lain sebagainya.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar