5.1.
Standar Kontrak
Ø Pengertian Perjanjian
Perjanjian suatu peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. menimbulkan suatu hubungan antara dua orang
yang yang disebut PERIKATAN. menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya. Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.Perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan. itu identik sama dengan persetujuan,
karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Jadi dua perkataan (perjanjian
dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit
karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
merupakan sumber terpenting yang
melahirkan perikatan. perikatan oleh suatu perjanjian lebih banyak daripada
perikatan yang dilahirkan oleh UU, karena : Perjanjian
a. Setiap saat dapat dilakukan oleh siapa
saja.
b.
kegiatan
bisnis/kegiatan terus bergulir tanpa henti.
c. Tidak
perlu pengesahan oleh Negara karena Perjanjian/PersetujuanPerikatan Lahir
karena Undang-Undang
Perikatan adalah suatu pengertian
abstrak, Perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa.
5.2. Macam – Macam Perjanjian
Ø Perjanjian Bersyarat
Suatu perjanjian adalah bersyarat,
apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perjanjian hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perjanjian menurut
terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam Hukum Perjanjian,
pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya
perjanjian. Contoh: Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ø Perjanjian Dengan Ketetapan
Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan
lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau
perikatan.
Ø Perjanjian Mana Suka
(Alternatif)
Dalam perikatan semacam ini, si berutang
dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam
perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian
dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya.
Ø Perjanjian Tanggung-Menanggung
Dalam perikatan semacam ini, di salah
satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak
debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut
untuk memenuhi seluruh utang. Oleh karena itu suatu perikatan
tanggung-menanggung harus dengan tegas diperjanjikan atau ditetapkan dalam
Undang-Undang. Contoh: Pasal 1749 Dan Pasal 1836 Kuhperdata.
Ø Perjanjian Yang Dapat Dibagi
Dan Yang Tak Dapat Dibagi
Suatu perikatan, dapat atau tak dapat
dibagi, adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian
mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat
dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya,
tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.
5.3. Syarat
Sahnya Perjanjian
1. Sepakat Mereka Yang
Mengikatkan Dirinya
Syarat pertama merupakan
awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak
tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya
kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan,
dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan
dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia
secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada
walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang
berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang
telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi
perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam
perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada,
sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu Sebab Yang Halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta
perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi,
dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai
orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat
ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian
dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya
suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan
dapat dijalankan.
5.4. Saat Lahirnya Perjanjian
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini
dinyatakan Pasal1338 KUHPerdata, yaitu:
1.
perjanjian yang dibuat oleh
para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya.
2.
perjanjian yang
telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan
daripara pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh
undang-undang.
3.
Perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikat baik.
Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata
memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian.
Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang
diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan,
selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan
dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
5.5.
Pembatalan Dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Ø Pembatalan
Batal dan Pembatalan suatu Perjanjian
Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi
hukum (bahasa Inggris: null and void)+ Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi
(terdapat kekurangan), maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, akan
tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak.u Yaitu :
Pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia
sendiri. Apabila ia sudah menjadi cakap, dan pihak yang memberikan perizinannya
atau menyetujui perjanjian itu secara bebas. Untuk meminta melakukan pembatalan
perjanjian, diperlukan a.l. ;g. Kreditur dari salah satu pihakh. Perjanjian itu
merugikan baginyai. Perbuatan atau perjanjian itu tidak diwajibkanj. Debitur
dan pihak lawan kedua-duanya mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan kreditur.
Ø Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pelaksanaan Suatu Perjanjian Menilik macamnya hak yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam 3 (tiga) macam (pasal 1234 KuhPer), yaitu:
Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu barang Misalnya: jual beli, tukar-menukar, penghibahan/pmberian), sewa-menyewa, pinjam pakai.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu Misalnya: perjanjian untuk membuat suatu lukisan,
perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat sebuah garansi dan lain
sebagainya.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok,
perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan
kepunyaan orang lain dan lain sebagainya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar