4.1. Pengertian
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara
dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan
pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu
berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian
ini maka timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah
pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian
adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu
sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian
menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk
mengadakan perjanjian.
4.2. Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat
tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.
Perikatan yang timbul dari undang-undang.
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian.
4.3. Asas-Asas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III
KUH Perdata, yakni menganut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme.
§
Asas kebebasan kontrak
Asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa segala sesuatu
perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, cara ini
dikatakan system terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak
diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang
bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma
kesusilaan.
§
Asas konsensualisme
Asas konsesualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir
pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang
pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, asas
konsesualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, cakap untuk menbuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal
tertentu, dan suatu sebab yang halal.
4.5. Wansprestasi
& Akibat-Akibatnya
§
Wansprestasi
Sementara itu, wansprestasi timbul apabila salah satu
pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau
ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat
kategori, yakni :
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2.
Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
§
Akibat-Akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi, dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni membayar kerugian yang diderita oleh kreditur
(ganti rugi), pembatalan perjanjian atau pemeccahan perjanjian, dan peralihan
resiko.
Jenis-jenis resiko
Jenis-jenis resiko dapat digolongkan menjadi dua
kategori, yakni :
- Resiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam pasal 1237 KUH Perdata,
yakni resiko ditanggung oleh kreditur.
- Resiko dalam perjanjian timbal balik yakni resiko dalam jual beli,
resiko dalam tukar-menukar, dan resiko dalam sewa menyewa.
Membayar biaya perkara
Yang dimaksud dengan membayar biaya perkara adalah
para pihak yang dikalahkan dalam berperkara diwajibkan untuk membayar biaya
perkara, jika dalam berperkara sampai diijukan ke pengadilan (diperkarakan di
depan hakim).
4.5. Hapusnya
perikatan
Perikatan itu bisa hapus
jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUH Perdata. Ada
sepuluh cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1.
Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela.
2.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.
Pembaharuan utang.
4.
Perjumpaan utang atau kompensasi.
5.
Percampuran utang.
6.
Pembebasan utang.
7.
Musnahnya barang yang terutang.
8.
Batal/pembatalan.
9.
Berlakunya suatu syarat batal.
10.
Lewat waktu.
11.
Memorandum of Understanding (MoU)
Pada hakikatnya Memorandum of Understanding (MoU)
merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan
dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail. Oleh
karena itu, dalam Memorandum of Understanding (MoU) hanya berisikan hal-hal
yang pokok saja. Ciri-ciri Memorandum of Understanding (MoU) adalah sebagai
berikut :
- Isinya ringkas, sering kali hanya satu halaman saja.
- Berisikan hal-hal yang pokok saja.
- Hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti
oleh perjanjian lain yang lebih rinci.
- Mempunyai jangka waktu berlakunya (1 bulan, 6 bulan
atau setahun) apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindak lanjuti dengan
penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka perjanjian tersebut
akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak.
- Dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan.
- Tidak ada kewajiban yang bersifat
memaksa kepada para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang lebih detail.
Alasan-alasan dibuatnya
Memorandum of Understanding (MoU) adalah sebagai berikut :
- Karena prospek bisnisnya belum jelas sehingga belum
bisa dipastikan.
- Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama
dengan negoisasi yang alot.
- Karena tiap-tiap pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan perlu
waktu dalam menandatangani suatu kontrak.
- Memorandum of Understanding (MoU) dibuat dan ditanda tangani oleh
para eksekutif dari suatu perusahaan maka perlu suatu perjanjian yang lebih
rinci yang dirancang dan dinegoisasi khusus oleh staf-staf yang berkaitan.
Tujuan Memorandum of
Understanding (MoU)
Didalam suatu perjanjian yang didahulukan dengan
membuat Memorandum of Understanding (MoU) dimaksudkan supaya memberikan kesempatan
kepada pihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan
atau tidak jika diadakan kerja sama, sehingga agar Memorandum of Understanding
(MoU) dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan
sanksi-sanksi. Jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi jika
sanksi-sanksi sudah dicantumkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) akan
berakibat bertentangan dengan hukum perjanjian/perikatan, karena dalam
Memorandum of Understanding (MoU) belum ada suatu hubungan hukum antara para
pihak, yang berarti belum mengikut.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar