Rabu, 09 Mei 2012

ARTI DARI SEBUAH BIOLA

Pelukan Ibu membuat dirinya merasa hangat. Menemani kesunyian malam. Belaian tangannya yang begitu lembut. Dia merasa berada di surga bersama sang Bunda. Terheranlah dia saat ibunya memberikan sebuah biola. Sebuah bola yang tak berdawai untuknya. Ibu tertunduk.
“Untuk apa ini, Bu ?”
Ibunya mengangkat wajah menatap mata anak itu. Seperti ada sesuatu yang hendak dikatakan. Tetapi, anak itu hanya melihat linangan air pada mata ibunya. Bibirnya agak gemetar. Dipejamkannya matanya sebentar. Ibunya hanya tersenyum.
Burung – burung berkicau membangunkannya. Ditemani dengan indahnya sang mentari di ufuk timur. Terkejutnya dia dengan apa yang telah terjadi. Betapa ibunya memeluknya dengan mesra. Tetapi, itu hanya sebuah mimpi. Tak terasa tetesan air mata telah membasahi pipinya. Seperti nyata. Ibunya hadir bersama sebuah biola. Tak mengerti apa maksud dari biola itu. Ibunya kini sudah tidak hadir dalam kelanjutan hidupnya. Hanya kenangan yang dia miliki. Dia tersenyum, Alangkah hangatnya pelukan ibunya itu diingatnya kini.
Saat ini dia tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah kecil. Seorang ayah yang tidak peduli terhadap anaknya. Sungguh malang nasib anak piatu itu. Tetapi, ada seorang nenek yang selalu menghiburnya. Nenek yang telah memberinya nama Riri.
Tak disadari dia melamun teringat akan mimpi itu. Ayahnya kesal melihat tingkah lakunya yang aneh. “Anak yang tidak tahu di untung ! Setiap hari hanya melamun saja !”
 Sepertinya Riri tak mendengan perkataan ayahnya. Ayahnya semakin kesal. Tiba – tiba telapak tangan ayahnya mendarat di pipi kanannya. Barulah dia tersadar bahwa pikirannya masih dalam mimpi itu.
“Ayah aku berangkat.”
“Kerjanya hanya bisa main saja kau ini !” Bentak Ayah.
Tak mendengar ayahnya berkata begitu, dia lekas pergi. Biola yang diberikan ibunya pada malam itu seperti nyata. Pergilah dia ke makam ibunya. Mendoakannya.. Tak terasa telah satu jam dia berada disana.
Dia teringat kepada neneknya. Dalam hatinya dia ingin menceritakan tentang mimpinya itu. Beranjaklah dia dari makam itu. Ternyata sang nenek sudah menunggunya di depan pintu.
“Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu”
“Tidak, Nek” sambil menggigit bibir.
Dia ragu untuk menceritakan semua itu. Dia takut neneknya sedih. Entah mengapa tiba – tiba ada sesuatu yang masuk ke dalam dirinya. Menghapus keraguan itu.
Perlahan, dia ceritakan isi mimpi itu. Belaian timangan ibunya yang sangat terbatas pandangannya. Biola tak berdawai yang diterimanya. Nenek memandang wajah cucunya dengan mata yang berlinang memeluknya dengan penuh kehangatan.
Dia heran dengan hadirnya biola itu. Neneknya menghela nafas. Mulai menceritakan kisah anaknya yang kini telah tiada. Riri pun mendengarkannya dengan saksama. Sejak usia 15 tahun ibu senang bermain biola. Hanya saja neneknya melarangnya. Nenek terus mengingatkan tugas pelajar hanya belajar. Menurut nenek, hanya membuang – buang waktu saja bermain biola. Lulus dari SMP, nenek malah menikahkan ibu dengan seorang pria yang kini menjadi ayah dari seorang anak bernama Riri. Nenek pikir anaknya akan bahagia. Ternyata tidak. Nenek pun menyesal.
 “Mungkin ibumu ingin kau menggantikan dirinya.”
“Tetapi, memegang biola saja aku tak pernah."
Neneknya hanya tersenyum. Memandang cucunya. Matanya selalu menyinarkan perasaan cucu kesayangannya. Dia merasa lebih tenang bila di dekat neneknya. Biarlah waktu yang menjawab apa arti dari semua mimpi itu.
Terdengan suara lantang tak bernada. Itu ialah ayahnya. Ternyata Ayahnya mendengar semua pembicaraan mereka. Menertawakan mereka. Mimpi hanyalah mimpi. Tak mungkin akan menjadi nyata. Itu menurut ayahnya. Biola tak berdawai. Sungguh tidak indah. Mustahil.
“Kalian benar – benar bodo!”
Sungguh keterlaluan perkataan ayahnya itu. Seringkali sang nenek menegur ayahnya. Tetapi, otak ayahnya sudah digerogoti kuman penyakit. Kerjanya antara lain bermabuk – mabukan. Atau menunggu rekan – rekannya di ujung kampong sana untuk mengajaknya berjudi. Sungguh seorang ayah yang tidak bermoral.
Sampai hari sudah larut. Dia tetap pada sikapnya yang semula. Merenungi mimpi itu. Mengingat kembali semua perkataan ayahnya. Memang itu hanyalah mimpi. Mencoba memejamkan mata. Tetapi, pikirannya masih terpaku dalam sebuah biola. Hanya dia saja yang belum tidur. Mungkin nenek dan ayahnya sudah pergi ke alam mimpi. Menggigit bibirnya. Mencoba kembali memejamkan mata.
Terlihat ibunya memainkan sebuah biola. Tersenyum kepadanya. Dia tertegun. Biola itu hadir kembali. Dia tak mengerti.
Di samping kamar tidurnya ayahnya tertegun pula. Air mata sang ayah keluar perlahan. Apakah ini hanya suatu kebetulan atau pun tidak. Saat mata terpejam, ayahnya pun merasakan kehadiran sang bunda. Membawa sebuah biola yang tak berdawai.
“Sadarlah Pak ! Berikan biola ini pada anak kita !”
Sejak saat itu, ayahnya sadar. Tuhan telah menginsafkan ayahnya melalui sebuah mimpi. Berjanji takkan mengulang perbuatannya lagi.
Tak terasa, tahun pun telah berganti tahun. Terjadi banyak perubahan dalam keluarga itu. Tanpa di sadari, usia Riri telah genap 15 tahun. Ada sebuah bingkisan bersampul merah jambu tergeletak di meja kamarnya. Dia tertegun melihatnya. Perlahan dia membuka bingkisan itu. Biola. Dia pun teringat akan mimpi itu. Mimpi setahun yang lalu. Terdengar suara lembut di belakangnya.
“Maaf, Nak. Ayah hanya bisa memberimu sebuah biola bekas.”
Dia tak bisa berkata apa – apa. Dia memeluk ayahnya. Neneknya tersenyum lebar melihatnya.
Dia seakan tidak percaya melihat kenyataan ini. Seperti sebuah mimpi. Tanpa dia ketahui, ternyata neneknya adalah seorang pemain biola. Dia pun belajar memainkan alat itu dari neneknya.
Perlahan tapi pasti. Akhirnya dia dapat memainkan biola dengan baik. Ayahnya membawa kabar tantangan kepadanya. Dia harus mengikuti perlombaan memainkan biola.
Hadirlah dia di atas panggung. Alunan musik yang dimainkannya membuat para penonton terpaku melihatnya. Tangannya sempat gemetar, Tapi, tak mengurangi keindahan alunan musiknya.
Mendadak senyuman lebar muncul dari ayah dan neneknya. Dia mampu mengalahkan pemain – pemain biola lain. Matanya berlinang. Tidak percaya. Wajahnya berseri memandang ayahnya. Beralih ke biola barunya yang dipegang, berpindah lagi ke arah penonton.
Tuhan telah membuat kehidupan mereka menjadi lebih berarti melalui biola itu. Sungguh mengharukan. Tetesan air mata bahagia tanpa sadar telah membasahi pipi. Di alam sana ibunya pun merasakan kebahagiaan mereka.

“The end”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar