Pelukan Ibu membuat
dirinya merasa hangat. Menemani kesunyian malam. Belaian tangannya yang begitu
lembut. Dia merasa berada di surga bersama sang Bunda. Terheranlah dia saat
ibunya memberikan sebuah biola. Sebuah bola yang tak berdawai untuknya. Ibu
tertunduk.
“Untuk apa ini, Bu ?”
Ibunya mengangkat
wajah menatap mata anak itu. Seperti ada sesuatu yang hendak dikatakan. Tetapi,
anak itu hanya melihat linangan air pada mata ibunya. Bibirnya agak gemetar.
Dipejamkannya matanya sebentar. Ibunya hanya tersenyum.
Burung – burung
berkicau membangunkannya. Ditemani dengan indahnya sang mentari di ufuk timur.
Terkejutnya dia dengan apa yang telah terjadi. Betapa ibunya memeluknya dengan
mesra. Tetapi, itu hanya sebuah mimpi. Tak terasa tetesan air mata telah
membasahi pipinya. Seperti nyata. Ibunya hadir bersama sebuah biola. Tak
mengerti apa maksud dari biola itu. Ibunya kini sudah tidak hadir dalam
kelanjutan hidupnya. Hanya kenangan yang dia miliki. Dia tersenyum, Alangkah
hangatnya pelukan ibunya itu diingatnya kini.
Saat ini dia tinggal
bersama ayahnya di sebuah rumah kecil. Seorang ayah yang tidak peduli terhadap
anaknya. Sungguh malang nasib anak piatu itu. Tetapi, ada seorang nenek yang
selalu menghiburnya. Nenek yang telah memberinya nama Riri.
Tak disadari dia
melamun teringat akan mimpi itu. Ayahnya kesal melihat tingkah lakunya yang
aneh. “Anak yang tidak tahu di untung ! Setiap hari hanya melamun saja !”
Sepertinya Riri tak mendengan perkataan
ayahnya. Ayahnya semakin kesal. Tiba – tiba telapak tangan ayahnya mendarat di
pipi kanannya. Barulah dia tersadar bahwa pikirannya masih dalam mimpi itu.
“Ayah aku berangkat.”
“Kerjanya hanya bisa main saja kau ini
!” Bentak Ayah.
Tak mendengar ayahnya
berkata begitu, dia lekas pergi. Biola yang diberikan ibunya pada malam itu
seperti nyata. Pergilah dia ke makam ibunya. Mendoakannya.. Tak terasa telah
satu jam dia berada disana.
Dia teringat kepada
neneknya. Dalam hatinya dia ingin menceritakan tentang mimpinya itu.
Beranjaklah dia dari makam itu. Ternyata sang nenek sudah menunggunya di depan
pintu.
“Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu”
“Tidak, Nek” sambil menggigit bibir.
Dia ragu untuk
menceritakan semua itu. Dia takut neneknya sedih. Entah mengapa tiba – tiba ada
sesuatu yang masuk ke dalam dirinya. Menghapus keraguan itu.
Perlahan, dia
ceritakan isi mimpi itu. Belaian timangan ibunya yang sangat terbatas
pandangannya. Biola tak berdawai yang diterimanya. Nenek memandang wajah
cucunya dengan mata yang berlinang memeluknya dengan penuh kehangatan.
Dia heran dengan
hadirnya biola itu. Neneknya menghela nafas. Mulai menceritakan kisah anaknya
yang kini telah tiada. Riri pun mendengarkannya dengan saksama. Sejak usia 15
tahun ibu senang bermain biola. Hanya saja neneknya melarangnya. Nenek terus
mengingatkan tugas pelajar hanya belajar. Menurut nenek, hanya membuang – buang
waktu saja bermain biola. Lulus dari SMP, nenek malah menikahkan ibu dengan
seorang pria yang kini menjadi ayah dari seorang anak bernama Riri. Nenek pikir
anaknya akan bahagia. Ternyata tidak. Nenek pun menyesal.
“Mungkin ibumu ingin kau menggantikan
dirinya.”
“Tetapi, memegang biola saja aku tak
pernah."
Neneknya hanya
tersenyum. Memandang cucunya. Matanya selalu menyinarkan perasaan cucu
kesayangannya. Dia merasa lebih tenang bila di dekat neneknya. Biarlah waktu
yang menjawab apa arti dari semua mimpi itu.
Terdengan suara
lantang tak bernada. Itu ialah ayahnya. Ternyata Ayahnya mendengar semua
pembicaraan mereka. Menertawakan mereka. Mimpi hanyalah mimpi. Tak mungkin akan
menjadi nyata. Itu menurut ayahnya. Biola tak berdawai. Sungguh tidak indah.
Mustahil.
“Kalian benar – benar bodo!”
Sungguh keterlaluan
perkataan ayahnya itu. Seringkali sang nenek menegur ayahnya. Tetapi, otak
ayahnya sudah digerogoti kuman penyakit. Kerjanya antara lain bermabuk –
mabukan. Atau menunggu rekan – rekannya di ujung kampong sana untuk mengajaknya
berjudi. Sungguh seorang ayah yang tidak bermoral.
Sampai hari sudah
larut. Dia tetap pada sikapnya yang semula. Merenungi mimpi itu. Mengingat
kembali semua perkataan ayahnya. Memang itu hanyalah mimpi. Mencoba memejamkan
mata. Tetapi, pikirannya masih terpaku dalam sebuah biola. Hanya dia saja yang
belum tidur. Mungkin nenek dan ayahnya sudah pergi ke alam mimpi. Menggigit
bibirnya. Mencoba kembali memejamkan mata.
Terlihat ibunya
memainkan sebuah biola. Tersenyum kepadanya. Dia tertegun. Biola itu hadir
kembali. Dia tak mengerti.
Di samping kamar
tidurnya ayahnya tertegun pula. Air mata sang ayah keluar perlahan. Apakah ini
hanya suatu kebetulan atau pun tidak. Saat mata terpejam, ayahnya pun merasakan
kehadiran sang bunda. Membawa sebuah biola yang tak berdawai.
“Sadarlah Pak ! Berikan biola ini pada
anak kita !”
Sejak saat itu,
ayahnya sadar. Tuhan telah menginsafkan ayahnya melalui sebuah mimpi. Berjanji
takkan mengulang perbuatannya lagi.
Tak terasa, tahun pun
telah berganti tahun. Terjadi banyak perubahan dalam keluarga itu. Tanpa di
sadari, usia Riri telah genap 15 tahun. Ada sebuah bingkisan bersampul merah
jambu tergeletak di meja kamarnya. Dia tertegun melihatnya. Perlahan dia
membuka bingkisan itu. Biola. Dia pun teringat akan mimpi itu. Mimpi setahun
yang lalu. Terdengar suara lembut di belakangnya.
“Maaf, Nak. Ayah hanya bisa memberimu
sebuah biola bekas.”
Dia tak bisa berkata apa
– apa. Dia memeluk ayahnya. Neneknya tersenyum lebar melihatnya.
Dia seakan tidak
percaya melihat kenyataan ini. Seperti sebuah mimpi. Tanpa dia ketahui,
ternyata neneknya adalah seorang pemain biola. Dia pun belajar memainkan alat
itu dari neneknya.
Perlahan tapi pasti.
Akhirnya dia dapat memainkan biola dengan baik. Ayahnya membawa kabar tantangan
kepadanya. Dia harus mengikuti perlombaan memainkan biola.
Hadirlah dia di atas
panggung. Alunan musik yang dimainkannya membuat para penonton terpaku melihatnya.
Tangannya sempat gemetar, Tapi, tak mengurangi keindahan alunan musiknya.
Mendadak senyuman
lebar muncul dari ayah dan neneknya. Dia mampu mengalahkan pemain – pemain
biola lain. Matanya berlinang. Tidak percaya. Wajahnya berseri memandang
ayahnya. Beralih ke biola barunya yang dipegang, berpindah lagi ke arah
penonton.
Tuhan telah membuat
kehidupan mereka menjadi lebih berarti melalui biola itu. Sungguh mengharukan.
Tetesan air mata bahagia tanpa sadar telah membasahi pipi. Di alam sana ibunya
pun merasakan kebahagiaan mereka.
“The end”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar